ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KEPENGAWASAN SMK DI KOTA TEBING TINGGI

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN 
KEPENGAWASAN SMK DI KOTA 
TEBING TINGGI


ABSTRAK

 

Fajar Efendi Daulay. Analysis of Implementation of Vocational High School Supervision Policy in Tebing Tinggi. Thesis: Department of Post Graduate State University of Medan. 2017

This study aims to determine the implementation of supervision policy in Tebing Tinggi. The subjects of this research are Head of Education Office of City of Tebing Tinggi, coordinator of vocational supervisor, principal and teacher. This study uses the Mazmanian model. Data collection is done by interview, documentation and observation. Data were analyzed by means of reduction, categorization, synthesis, and developing work hypothesis. The result of the research shows that technical difficulties of the policy of Permenpan RB no. 21 Year 2010 can be overcome with the existence of Permendiknas No. 143 of 2014 on Technical Guidelines for the Implementation of Functional Position of School Supervisor and Credit Score. Permenpan RB No. 21 of 2010 requires professional supervisors who can improve the quality of education by changing the mindset and behavior of school supervisors that will impact the mindset and behavior of principals and teachers. The structure of the policy implementation process contained in the policy material of Vocational High School (SMK) supervision in Tebing Tinggi. At this stage it begins in the analysis is the clarity and consistency of goals. Permenpan RB No. 21 of 2010 explains the main task of school supervisors is to conduct academic and managerial supervision. External factors influencing the implementation of SMK supervision policy in Tebing Tinggi include socio-economic and technological conditions, high public support, and leadership agreements and leadership of the executing officials. The conclusion of this study is that the implementation of supervision policy in Tebing Tinggi has not been implemented in accordance with Permenpan RB no. 21 of 2010

Keywords: Implementation, Supervision, Policy


ABSTRAK

Fajar Efendi Daulay. Analisis Implementasi Kebijakan Kepengawasan SMK di Kota Tebing Tinggi. Tesis: Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Medan. 2017

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan kebijakan pengawasan di Tebing Tinggi. Subyek penelitian ini adalah Kepala Dinas Pendidikan Kota Tebing Tinggi, koordinator pengawas SMK, kepala sekolah dan guru. Penelitian ini menggunakan model Mazmanian dan Sabatier. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, dokumentasi dan observasi. Data dianalisis dengan cara reduksi, kategorisasi, sintesis, dan pengembangan hipotesis kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan teknis kebijakan Permenpan RB no. 21 Tahun 2010 dapat diatasi dengan adanya Permendiknas No. 143 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya. Permenpan RB Nomor 21 Tahun 2010 mewajibkan pengawas profesional yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan dengan mengubah pola pikir dan perilaku pengawas sekolah yang akan berdampak pada pola pikir dan perilaku kepala sekolah dan guru. Struktur proses implementasi kebijakan yang terkandung dalam kebijakan pengawasan SMK di Tebing Tinggi. Pada tahap ini dimulai dalam analisis kejelasan dan konsistensi dari tujuan. Permenpan RB Nomor 21 Tahun 2010 menjelaskan tugas pokok pengawas sekolah adalah melakukan pengawasan akademik dan manajerial. Faktor eksternal yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan pengawasan SMK di Tebing Tinggi meliputi kondisi sosio-ekonomi dan teknologi, dukungan publik yang tinggi, dan kesepakatan kepemimpinan dan kepemimpinan pejabat pelaksana. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa penerapan kebijakan pengawasan di Tebing Tinggi belum dilaksanakan sesuai dengan Permenpan RB no. 21 tahun 2010

Kata kunci: Implementasi, Pengawasan, Kebijakan




B A B  1 
P E N D A H U L U A N


1.1. Latar Belakang

            Produk kebijakan merupakan hal yang pasti ada dalam suatu negara, begitu juga di Indonesia yang sudah menghasilkan banyak produk-produk kebijakan, baik pada pemerintah daerah berupa perda-perda, keputusan bupati/walikota ataupun Gubernur, maupun yang ada pada tingkat pemerintahan pusat berupa undang-undang, peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah, keputusan presiden, peraturan mentri. Produk kebijakan itupun juga sangat beragam dikarenakan produk kebijakan itu sendiri lahir dari segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara seperti bidang politik, ekonomi, budaya, sosial, pertahanan, keamanan, kesehatan, pendidikan, pembangunan dan berbagai bidang lainnya.

            Dari sekian banyak kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah hingga saat ini, kebijakan di bidang pendidikan merupakan salah satu yang menjadi perhatian oleh sebagian pihak karena kebijakan di bidang pendidikan merupakan kebijakan mendasar yang sangat sentral dalam proses bernegara dengan pertimbangan tujuan akhir dari kebijakan pendidikan itu sendiri. Kebijakan untuk meningkatkan mutu pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah salah satunya adalah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Dalam rangka melaksanakan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang mencakup standar: (1) isi; (2) proses; (3) kompetensi lulusan; (4) pendidik dan tenaga kependidikan; (5) sarana dan prasarana; (6) pengelolaan; (7) pembiayaan; dan (8) standar penilaian pendidikan. Standar-standar tersebut di atas merupakan acuan dan sekaligus kriteria dalam peningkatan dan penjaminan mutu penyelenggaraan pendidikan. Salah satu standar yang memegang peran penting dan strategis dalam peningkatan mutu pendidikan adalah standar pendidik dan tenaga kependidikan. Pengawas satuan pendidikan merupakan salah satu komponen tenaga kependidikan yang perlu ditingkatkan mutunya.

            Selanjutnya pengawasan terhadap delapan Standar Nasional Pendidikan dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008, tentang penugasan pengawas sekolah yang mengatur tentang jumlah sekolah yang dibina oleh pengawas SMK minimal sejumlah 7 sekolah, sedangkan untuk pengawas mata pelajaran guru yang dibina minimal 40 orang. Hal ini diperkuat juga dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 21 Tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional Pengawas dan Angka Kreditnya Pasal 6 Ayat 2b menyatakan "untuk sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah dan sekolah menengah atas/madrasah aliyah/sekolah menengah kejuruan/madrasah aliyah kejuruan paling sedikit 7 satuan pendidikan dan/atau 40 (empat puluh) Guru mata pelajaran/kelompok mata pelajaran".

            Menurut undang-undang dan peraturan yang berlaku, keberadaan pengawas sekolah jelas dan tegas. Namun dalam implementasinya, pengawas sekolah belum terbebas dari berbagai masalah. Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam keseluruhan struktur kebijakan. Tahap ini menentukan apakah kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah benar-benar aplikabel di lapangan dan berhasil menghasilkan output dan outcomes seperti direncanakan. Untuk dapat mewujudkan output dan outcomes yang ditetapkan, maka kebijakan publik perlu untuk diimplementasikan tanpa diimplementasikan maka kebijakan tersebut hanya akan menjadi catatan-catatan elit sebagaimana dipertegas oleh Udoji (dalam Agustino, 2006) yang mengatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan.

            Banyak model untuk menganalisis proses implementasi kebijakan yang dapat digunakan. Salah satunya adalah model implementasi rasional atau Top-Down. Penggunaan model ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor mana yang membuat implementasi sukses. Van Meter dan Van Horn (1975) yang memakai pandangan bahwa implementasi perlu mempertimbangkan isi atau tipe kebijakan; Hood (1976) memandang implementasi sebagai administrasi yang sempurna; Gun (1978) memandang beberapa syarat untuk mengimplementasikan kebijakan secara sempurna; Grindle (1980) lebih memandang implementasi sebagai proses politik dan Administrasi. Sedangkan, Sebatier dan Mazmanian (1979) melihat implementasi dari kerangka analisisnya. Menurut Mazmanian dan Sabatier (dalam Subarsono, 2010: 94), ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, antara lain sebagai berikut : 1) mudah tidaknya variabel dikendalikan; 2) Kemampuan kebijakan untuk menstruktur proses implementasi; 3) Variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi.

            Posisi model top-down yang diambil oleh Sabatier dan Mazmanian terpusat pada hubungan antara keputusan-keputusan dengan pencapaiannya, formulasi dengan implementasinya, dan potensi hirarki dengan batas-batasnya, serta kesungguhan implementers untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan tersebut. Model implementasi yang dikemukakan oleh Sebatier dan Mazmanian pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan model pendekatan top-down sebagaimana dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn (1975); Hood (1976); Gun (1978); dan Grindle (1980) dalam hal perhatian terhadap kebijakan dan lingkungan kebijakan. Hanya saja pemikiran Sebatier dan Mazmanian menganggap bahwa suatu implementasi akan efektif apabila birokrasi pelaksananya mematuhi apa yang telah digariskan oleh peraturan (petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis). Dengan demikian, dapat dipahami jika model implementasi sebagaimana dikemukakan oleh Sebatier dan Mazmanian lebih difokuskan pada kesesuaian antara apa yang ditetapkan dengan pelaksanaan program tersebut (Dicta, 2008).

           Ketidaksesuaian antara apa yang ditetapkan dengan pelaksanaan program/kebijakan juga dialami di dunia pendidikan khususnya kebijakan kepengawasan sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat Almannie (2015 : 170) menjelaskan bahwa school superintendents face challenges for the  implementation  of policies and regulation. Most of them are not prepared to development of education in their school and they tend to act more as mangers than educational leaders. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pengagawas sekolah menghadapi tantangan dalam pelaksanaan kebijakan dan perundang-undangan dalam mengembangkan pendidikan. Sejalan dengan hal tersebut Paulsen (2014 : 815) menjelaskan bahwa the relationship supervisory positions with the political system. The school superintendent in implementing the policy is influenced by the local political system. So that policy implementation is not running as they should be. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan posisi pengawas dengan sistem politik. Pengawas sekolah dalam mengimplementasikan kebijakan diperngaruhi oleh sistem politik lokal. Sehingga implementasi kebijakan tidak berjalan dengan seharusnya. Hal ini diperkuat oleh Priadi ( 2011 : 75-76) menerangkan bahwa dalam kerangka otonomi daerah promosi jabatan pengawas sekolah menjadi kewenangan bupati/walikota. Seyogyanya jabatan pengawas ini diisi oleh guru yang memang memenuhi kriteria administratif dan profesional namun bupati/walikota untuk menjadikannya alat politik baru bagi para politisi di tingkat daerah.

            Permasalahan kepengawasan lebih spesifik dijelaskan Arikunto (2006 : 3-5) bahwa kewenangan kabupaten/kota jauh lebih besar daripada kewenangan provinsi dan kewenangan pemerintah pusat sehingga berdampak pada timbulnya berbagai masalah terkait dengan implementasi kebijakan yang menyangkut masalah kepengawasan, mulai dari beban tugas pengawas belum diatur dengan baik, belum ada pembedaan jumlah sekolah yang dibina didasarkan atas jarak lokasi sekolah yang dibina, sasaran kegiatan pengawasan masih campur antara aspek akademik dan administratif, dengan sedikit cenderung mengutamakan administratif, perihal kepada siapa laporan yang telah dibuat oleh pengawas tersebut diserahkan dan siapa yang harus memeriksa, serta mau diapakan informasi yang diperoleh. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa hasil dari kinerja guru belum diketahui dengan baik oleh pihak atasan, apalagi dimanfaatkan sebagai bahan untuk pembinaan karir selanjutnya. Dalam laporan pertanggungjawaban Kepala Dinas Pendidikan, belum disebutkan secara eksplisit upaya dan hasil pembinaan yang telah dilakukan terhadap sumber daya manusia (khususnya SDM akademik, yaitu kepala sekolah dan guru) yang ada dalam wilayah pertanggung jawaban pengelolaannya. Lebih lanjut Wastandar (2015 : 8) mengatakan bahwa masalah implementasi kebijakan kepengawasan sekolah mulai dari 65% kualifikasi pendidikan pengawas dikmen belum S2, rekruitmen tidak didasarkan pada kompetensi, jabatan dan karir pengawas belum dioptimalkan dan dihargai, sebagian besar kurang menguasai kompetensi khususnya supervisi akademis, citra dan wibawa pengawas akademik masih rendah, program pelaksanaan dan evaluasi  belum terpola dan terprogram dengan baik, laporan pengawasan belum dimanfaatkan untuk  pengambilan keputusan, fasilitas dan daya dukung belum memadai.

          Masalah - masalah seperti ini juga dijumpai di Kota Tebing Tinggi yang memiliki Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yakni 15 sekolah terdiri dari empat SMK Negeri dan sebelas SMK Swasta, dengan rincian jumlah guru sebagai berikut :

Tabel 1.1. Jumlah Guru SMK di Kota Tebing Tinggi

No

Guru

Status Guru

Total

Keterangan

PNS

Non PNS

1

Guru Normatif

58

54

112

 

2

Guru Adaptif

69

68

137

 

3

Guru Produktif

91

87

178

 

Jumlah

218

209

427

 

Sumber : Wawancara dengan kordinator pengawas SMK pada tanggal 18-01-2017

            Berdasarkan tebel di atas, jumlah guru SMK adalah 427. Kondisi ini tidak sebanding dengan jumlah pengawas SMK sejumlah 7 orang, terdiri dari 3 orang pengawas mata pelajaran kejuruan / produktif, 4 orang pengawas mata pelajaran adaptif/normatif. Dengan jumlah pengawas SMK yang terbatas masih belum memadai dengan pemenuhan kebutuhan pengawas. Hal ini merupakan kendala bagi Pengawas Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dalam memaksimalkan pembinaan – pembinaan baik pembinaan manajerial bagi kepala sekolah maupun pembinaan akademik bagi guru-guru mata pelajaran.

            Hasil wawancara dengan koordinator pengawas di Kota Tebing Tinggi pada tanggal 18 Januari 2017 adalah bahwa pengawas SMK di Kota Tebing Tinggi belum difungsikan secara optimal oleh manajemen pendidikan. Selain itu struktur organisasi pengawas, pola pengawas, kesejahteraan, kompetensi pengawas serta tidak tercantumnya anggaran untuk pengawas sekolah dalam anggaran belanja daerah menambah daftar permasalahan pengawas sekolah.

            Apa yang telah digambarkan di atas adalah suatu permasalahan yang ada dalam implementasi kebijakan kepengawasan di mana kebijakan kepengawasan ini masih memiliki beberapa kelemahan yang tentunya kelemahan ini adalah suatu masalah dalam realisasi suatu kebijakan. Oleh karena itu dalam penelitian ini kebijakan kepengawasan di Tebing Tinggi akan coba penulis analisis dengan menggunakan model implememtasi yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul Sabtier untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan kepengawasan SMK di Tebing Tinggi.

 1.2        Fokus Penelitian

            Berdasarkan permasalahan di atas, yang menjadi fokus penelitian dalam penelitian ini adalah implementasi kebijakan kepengawasan SMK di Kota Tebing Tinggi pada tahun 2017.

 1.3        Masalah

            Adapun yang menjadi pemasalahan dalam penelitian ini adalah :

1.   Bagaimana tingkat kemudahan dan kesulitan pengendalian implementasi kebijakan kepengawasan SMK di Kota Tebing Tinggi?

2. Bagaimana struktur proses implementasi kebijakan yang tertuang dalam materi kebijakan kepengawasan SMK di Kota Tebing Tinggi?

3.    Faktor eksternal apa saja yang mempengaruhi implementasi kebijakan kepengawasan SMK di Kota Tebing Tinggi?

4.     Bagaimana proses implementasi kebijakan kepengawasan SMK di kota Tebing Tinggi?

 1.4        Tujuan Penelitian

         Berdasarkan rumusan masalah di atas,  maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tingkat kemudahan dan kesulitan pengendalian implementasi kebijakan kepengawasan SMK di Kota Tebing Tinggi.

2.  Untuk mengetahui struktur proses implementasi kebijakan yang tertuang dalam materi kebijakan kepengawasan SMK di Kota Tebing Tinggi.

3. Untuk mengetahui faktor eksternal apa saja yang mempengaruhi implementasi kebijakan kepengawasan SMK di Kota Tebing Tinggi.

4.      Untuk mengetahui proses implementasi kebijakan kepengawasan SMK di kota Tebing Tinggi.

 

1.5        Manfaat Penelitian

          Penelitian ini akan bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis kepada beberapa pihak sebagai berikut:

1.      Manfaat Teoritis

      Secara teoritis penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dibidang kebijakan publik untuk mengkaji dan menganalisis rumusan kebijakan kepengawasan SMK, mengkaji dan menganalisis implementasi kebijakan kepengawasan SMK, serta mengkaji dan merumuskan model alternatif program kepengawasan SMK Kota Tebing Tinggi.

 2.      Manfaat Praktis

    Penelitian ini akan bermanfaat bagi pemerintah Kota Tebing Tinggi, unit/dinas terkait, termasuk sekolah terutama pada jenjang SMK atau sederajat dalam mengimplementasikan kebijakan kepengawasan SMK dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Adapun pihak-pihak yang memperoleh manfaat dari penelitian ini adalah:

  1.  Kepala Dinas Pendidikan Sumatara Utara, Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam melakukan pengembangan dan perekrutan pengawas SMK sesuai dengan kebijakan kepengawasan yang berlaku.
  2. Kordinator Pengawas SMK di Kota Tebing Tinggi, Sebagai bahan masukan untuk pembinaan pengawas sekolah, peningkatan kompetensi serta profesionalisme pengawas sekolah.
  3.  Pengawas SMK di Kota Tebing Tinggi, Sebagai dasar pengembangan dan perbaikan mutu profesi pengawas sekolah.
  4. Kepala sekolah dan guru SMK di Kota Tebing Tinggi, Sebagai informasi tentang pengawas SMK yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. 
  5. Penelitin selanjutnya, Sebagai bahan referensi untuk peneliti selanjutnya



BAB III
METODE PENELITIAN

 

2.1.1.      Subjek Penelitian

            Subjek yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang dapat  memberikan informasi terkait data yang dibutuhkan dalam penelitian yaitu : Pertama, informan utama adalah kepala dinas pendidikan karena merupakan pimpinan tertinggi di lembaga tersebut serta koordinator pengawas SMK sebagai pimpinan pengawas. Dengan mewawancarai koordinator pengawas SMK, peneliti mendapatkan informasi dengan tingkat keabsahan data yang tinggi. Koordinator pengawas SMK memberikan arahan-arahan untuk mengembangkan penelitian secara lebih mendalam. Kedua, pengawas SMK, pertimbangan peneliti dalam menwawancarai pengawas SMK dikarenakan peneliti menganggap pengawas SMK inilah yang terjun ke lapangan dalam rangka severvisi manajerial dan supervisi akademik, sehingga diharapkan peneliti mampu mendapatkan data yang lebih akurat mengenai peran pengawas dalam rangka mengimplementasi kebijkaan kepengawas SMK di Kota Tebing TinggiKetigakepala SMK yang berjumlah 4 orang dan guru-guru SMK, pertimbangan peneliti dalam mewawancarai kepala SMK dan guru SMK dikarenakan mereka berhubungan langsung dengan pengawas SMK.

3.2.   Jenis Data

1.   Data Primer

            Menurut Nasution data primer adalah data yang dapat diperoleh langsung dari lapangan atau tempat penelitian (Moleong, 2010:157). Sedangkan menurut Lofland bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan. Kata-kata dan tindakan merupakan sumber data yang diperoleh dari lapangan dengan mengamati atau mewawancarai. Peneliti menggunakan data ini untuk mendapatkan informasi langsung tentang implementasi kebijakan SMK di kota Tebing Tinggi. Dalam penelitian ini subjek penelitian dipilih berdasarkan teknik purposive sampling dengan berusaha memasukkan ciri-ciri tertentu terhadap responden. Tujuan penggunaan teknik ini untuk memperoleh informasi  yang jelas tentang implementasi kebijakan SMK di kota Tebing Tinggi.

2.   Data Sekunder

            Data sekunder adalah data-data yang didapat dari sumber bacaan dan berbagai macam sumber lainnya yang terdiri dari surat-surat pribadi, buku harian, notula rapat perkumpulan, sampai dokumen-dokumen resmi dari berbagai instansi pemerintah  (Moleong,2010:159).  Data  sekunder  juga  dapat  berupa  majalah, buletin, publikasi dari berbagai organisasi, lampiran-lampiran dari badan-badan resmi seperti kementrian-kementrian, hasil-hasil  studi, tesis, hasil survey,  studi histories, dan sebagainya. Peneliti menggunakan data sekunder ini untuk memperkuat penemuan dan melengkapi informasi yang telah dikumpulkan melalui wawancara lansung. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang didapat dari arsip kordinator pengawas.           

3.3.      Teknik Pengumpulan Data

1.   Wawacara

            Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan pewawancara (interviewer) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2010: 186).  Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan wawancara semi terstruktur. Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok yang dirumuskan tidak perlu dipertanyakan secara berurutan (Moleong, 2010: 187).

           Tujuan peneliti menggunakan metode ini adalah untuk memperoleh data secara jelas dan konkret tentang bagaimana implementasi kebijakan SMK di kota Tebing Tinggi. Peneliti menggunakan metode ini sebagai petunjuk wawancara yang hanya berisi petunjuk secara garis besar tentang proses dan isi wawancara untuk menjaga agar pokok-pokok yang direncanakan dapat seluruhnya tercakup. Pelaksanaan wawancara dan pengurutan pertanyaan disesuaikan dengan keadaan responden dalam konteks wawancara sebenarnya.

         Peneliti menggunakan wawancara semi terstruktur (indepth interview) dengan menggunakan interview guide yang pokok kemudian pertanyaan dikembangkan seiring atau sambil bertanya setelah informan tersebut menjawab sehingga terjadi wawancara yang interaktif antara peneliti dengan informan. Wawancara dilakukan sambil direkam sehingga data yang diperoleh dapat dikonfirmasi kembali.

2.   Dokumentasi

            Metode dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi penelitian sosial. Pada intinya metode dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data horistik. Dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan beberapa dokumen resmi, berupa arsip implementasi kebijakan SMK di kota Tebing Tinggi, seperti peraturan menteri, data jumlah pengawas, kepala sekolah dan guru, rencana strategis, standar operasional prosedur dan lain sebagainya. Selanjutnya, sebagai dokumentasi pribadi, peneliti memiliki foto-foto tentang wawancara, observasi dengan pengawas, kepala sekolah dan guru  di Kota Tebing Tinggi.

3.   Observasi

       Observasi langsung adalah cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut. Observasi atau pengamatan merupakan salah satu teknik penelitian yang sangat penting. Pengamatan itu digunakan karena berbagai alasan (Moleong, 2010 : 242). Observasi ini digunakan untuk penelitian yang telah direncanakan secara sistematik tentang bagaimana implementasi kebijakan SMK di kota Tebing Tinggi.

       Tujuan menggunakan metode ini untuk mencatat hal-hal, perilaku tentang bagaimana implementasi kebijakan SMK di kota Tebing Tinggi. Dalam observasi ini peneliti mencari dan mengamati beberapa hal antara lain pelaksanaan suvervisi manajerial dan supervisi akademik, penyusunan laporan, program pengawas.

 3.4.      Analisis Data

            Manurut Patton (dalam Moleong, 2010:280), teknik analisis data adalah proses kategori urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar, ia membedakannya dengan penafsiran yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan di antara dimensi- dimensi uraian.

            Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya. Setelah dibaca, dipelajari, dan ditelaah, langkah berikutnya ialah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan rangkuman yang inti, proses dengan pernyataan- pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya dalam satuan-satuan. Satuan-satuan itu dikategorisasikan pada langkah  berikutnya.  Kategori-kategori  itu  dibuat  sambil  melakukan  koding.  Tahap akhir dari analisis data ini adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data. Setelah tahap ini mulailah kini tahap penafsiran data dalam mengolah hasil sementara menjadi teori substantif dengan menggunakan metode tertentu (Moleong, 2010: 247).

          Analisis data dilakukan dalam suatu proses, proses berarti pelaksanaannya sudah mulai dilakukan sejak pengumpulan data dan dilakukan secara intensif, yakni sesudah meninggalkan lapangan, pekerjaan menganalisis data memerlukan usaha pemusatan perhatian dan pengarahan tenaga fisik dan pikiran dari peneliti. Menurut  Miles  dan  Huberman  (dalam  Moleong,  2010:308),  pada  dasarnya analisis data ini didasarkan pada pandangan paradigmanya yang positivisme. Analisis data itu dilakukan dengan mendasarkan diri pada penelitian lapangan apakah satu atau lebih dari satu situs. Jadi seorang analis hendak mengadakan analisis data harus menelaah terlebih dahulu apakah pengumpulan data yang telah dilakukannya satu situs atau lebih.

Langkah –langkah yang harus ditempuh dalam menganalisis data :

1.   Reduksi Data

            Setelah  peneliti  mendapatkan  data  berupa  catatan  lapangan,  lalu peneliti memilah hal-hal yang pokok yang berhubungan dengan permasalahan penelitian,  rangkuman  catatan-catatan  lapangan  itu kemudian peneliti susun secara sistematis sehingga memberikan gambaran yang lebih tajam serta mempermudah pelacakan kembali apabila sewaktu-waktu data diperlukan kembali.

2.   Kategorisasi

       Peneliti memilah–milah setiap sesuatu dalam bagian–bagian yang memiliki kesamaan. Dalam setiap kategori diberi nama yang disebut label. Hal ini digunakan agar memudahkan dalam proses analisis dan agar tidak tertukar dengan yang lain.

3.   Sintesisasi

        Setelah peneliti melakukan kategorisasi data, lalu peneliti akan mensintesiskan antara satu kategori data yang didapatkan dengan  yang lainnya agar mudah dipahami dan tidak tertukar.

 4.   Menyusun “ Hipotesis Kerja”

        Hal ini dilakukan dengan jalan mermuskan suatu pertanyaan yang proporsional. Hipotesis kerja ini sudah merupakan teori  yang subtantif (yaitu teori yang berasal dan berkaitan dengan data).

 3.5.      Keabsahan Penelitian

            Keabsahan data sudah sah jika memiliki empat kriteria sesuai yang di ungkapkan oleh Moleong (2010:324), kriteria keabsahan data ada empat macam yaitu :

1     Kepercayaan (kredibility)
2.      Keteralihan  (tranferability)
3.      Kebergantungan (dependibility)
4.      Kepastian (konfermability)

            Penelitian ini menggunakan triangulasi untuk mengecek keabsahan data/uji kredibilitas data. Metode Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Diluar data itu untuk keperluan pengecekan  atau  sebagai  pembanding  terhadap  data  itu.  Teknik  triangulasi  yang paling banyak digunakan adalah pemeriksaan melalui sumber lainnya. Triangulasi berarti cara terbaik untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan konstruksi kenyataan yang ada dalam konteks suatu studi ke waktu menyimpulkan data tentang berbagai kejadian dan hubungan dari berbagai pandangan (Moleong,2010:330).

         Uji kredibilitas data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik triangulasi sumber. Triangulasi sumber berarti membandingkan dan mengecek balik drajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Patton,1987:331) .

        Setelah peneliti mendapatkan data, baik itu berupa data hasil wawancara, data dokumentasi, maupun data observasi, maka selanjutnya peneliti melakukan triangulasi sumber, antara lain dengan cara :

1.            Membandingkan data observasi yang  didapatkan  dengan  wawancara  pada informan.

2.            Membandingkan data wawancara antar informan satu dengan yang lainnya.

3.            Membandingkan data wawancara dengan dokumentasi yang telah dikumpulkan.

 



B A B V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

 

A.    Kesimpulan

1.      Tingkat kemudahan dalam pengendalian implementasi kebijakan kepengawasan SMK di Kota Tebing Tinggi adalah sebagai berikut : Pertama, kelompok sasaran dari kebijakan ini adalah homogen yaitu pengawas sekolah. Pengawas SMK di Kota Tebing Tinggi telah mengawasi 7 SMK dan/atau 40 (empat puluh) guru mata pelajaran/kelompok mata pelajaran. Kedua, kebijakan ini menghendaki perubahan prilaku pengawas sekolah menjadi pengawas yang profesional. Hal ini dapat di lihat dari tugas pokok pengawas SMK di Kota Tebing Tinggi yaitu melaksanakan tugas pengawasan akademik dan manajerial. Selain kemudahan, kebijakan ini juga mempunyai kesulitan antar lain : Pertama, kebijakan ini mempunyai kesulitan teknis antara lain kabijakan ini masih menggunanakan format DP3 dalam melakukan penilaian kinerja pengawas sekolah dan pemberhentian sementara pengawas sekolah. Kedua, keberagaman prilaku yang diatur dalam kebijakan Permenpan RB No. 21 Tahun 2010 adalah heterogen yaitu seorang pengawas harus mengawasi 7 satuan pendidikan dan atau 40 orang guru mata pelajaran yang serumpun. 

2.      Struktur proses implementasi kebijakan yang tertuang dalam materi kebijakan kepengawasan SMK di Kota Tebing Tinggi adalah sebagai berikut : Pertama, kebijakan ini telah disusun secara jelas sesuai dengan skala prioritas/urutan kepentingan bagi pengawas SMK di Kota Tebing Tinggi. Hal ini dapat di lihat dari tugas pokok, kewajiban dan kewenangan pengawas SMK di Kota Tebing Tinggi. Kedua, kebijakan ini tidak mengatur tentang biaya untuk pengawas sekolah. Ketiga, Kebijakan ini telah mendapat dukung dari dinas pendidikan dengan cara membuat aturan-aturan seperti laporan bulanan dikumpul setiap awal bulan. Keempat, perekrutan pengawas SMK di Kota Tebing Tinggi tanpa melalui seleksi sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Permenpan RB No. 21 Tahun 2010. Pengangkatan pengawas lebih kepada jenjang karir yaitu di mulai dari guru, kepala sekolah dan pengawas sekolah. Kelima, Kebijakan ini memberikan akses formal pihak luar sangat terbatas. Hal ini dikarenakan kebijakan tersebut hanya mengatur tentang pengawas sekolah dan angka kreditnya.

3.      Faktor eksternal yang mempengaruhi implementasi kebijakan kepengawasan SMK di Kota Tebing Tinggi adalah sebagai berikut : Pertama, kondisi sosio-ekonomi masyakarkat Tebing Tinggi khususnya pengawas SMK di Kota Tebing Tinggi telah bersifat terbuka yaitu menerima segala perubahan yang sifatnya membangun. Sedangkan dalam hal penggunaan teknologi, pengawas SMK di Kota Tebing Tinggi telah menerapkannya dalam menjalankan kebijakan kepengawasan SMK di Kota Tebing Tinggi, seperti adanya group WA antara pengawas, kepala sekolah dan guru. Kedua, kebijakan telah di dukung oleh pengawas sekolah serta pihak-pihak yang berkepentingan yaitu dinas pendidikan, kepala sekolah dan guru. Ketiga, komitmen dinas pendidikan untuk meningkatkan kompetensi pengawas sekolah adalah dengan merekrut pengawas sekolah sesuai dengan hirarki yaitu mulai dari guru, kepala sekolah.

 

B.     Implikasi

            Implikasi dari hasil penelitian implementasi kebijakan kepengawasan SMK di Kota Tebing Tinggi adalah sebagai berikut :

1.       Implikasi yang berkenaan dengan variabel mudah tidaknya masalah dikendalikan. Penelitian ini juga membuktikan bahwa keberagaman prilaku yang di atur serta presentase kelompok sasaran dibanding jumlah populasi dalam kebijakan kepengawasan ini dapat menimbulkan masalah dikarenakan perbandingan jumlah pengawas SMK dengan jumlah guru sangatlah besar. Pengawas SMK yang berjumlah 7 orang sedangkan guru berjumlah 422 orang. Kondisi ini akan berdampak pada tingkat dan ruang lingkup perubahan perilaku yang dikehendaki baik bagi pengawas SMK, kepala sekolah, guru serta siswa.

2.       Implikasi yang berkenaan dengan variabel kemampuan kebijaksanaan untuk menstrukturkan proses implementasi. Penelitian ini membuktikan bahwa kejelasan dan konsitensi tujuan belum terlaksana sebagaimana mestinya. Berdasarkan Permenpan RB No. 21 Tahun 2010 bahwa tugas pengawas adalah melakukan supervisi akademik dan manajerial. Namun dalam pelaksanaannya, pengawas sekolah cendrung melakukan inspeksi. Pengawas sekolah melakukan supervisi hanya di awal semester saja. Kurangnya alokasi sumber dana untuk operasional pengawas SMK merupakan salah satu faktor penyebab jarangnya pengawas datang ke sekolah. Hal ini akan berdampak kepada rendahnya pembinaan guru di SMK yang pada akhirnya tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan akan sulit tercapai. Meskipun aturan pelaksana telah dibuat untuk mengatut jabatan fungsional pengawas sekolah. Namun aturan itu masih bersifat nasional. Oleh karena itu dibutuhkan aturan atau perda khusus tentang pengawas SMK di Kota Tebing Tinggi karena setiap daerah mempunyai keunikan masing-masing. Selain itu, penelitian ini juga membuktikan bahwa perekrutan pejabat pelaksana yaitu perekrutan pengawas SMK masih belum sesuai dengan aturan yang ada. Pengawas SMK di Kota Tebing Tinggi tidak mempunyai STTPP ketika diangkat menjadi pengawas sekolah. Rekrutmen pengawas sekolah tidak melalui seleksi sehingga akses formal pihak luar sangat rendah. Kepala sekolah, guru tidak mendapatkan informasi tentang perekrutan ini.

3.   Implikasi yang berkenaan dengan variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi. Penelitian ini membuktikan bahwa kondisi sosio-ekonomi dan teknologi mempunyai pengaruh terhadap implementasi kebijakan kepengawasan SMK Kota Tebing Tinggi. Sikap masyarakat yaitu pengawas yang terbuka dan maju merupakan faktor pendukung diterimanya kebijakan kepengawasan ini. Namun, Bergantinya  Permendiknas No. 12 Tahun 2007 yang mengsyaratkan seorang pengawas sekolah berijazah paling rendah Magister (S2) kependidikan dengan berbasis sarjana (S1) dalam rumpun mata pelajaran yang relevan pada perguruan tinggi terakreditasi dengan Permenpan RB No. 21 Tahun 2010 yang mengsyaratkan seorang pengawas sekolah berijazah paling rendah Sarjana (S1)/Diploma IV bidang pendidikan menggambarkan bahwa komitmen, kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana masih perlu dipertanyakan kembali.

 

C.    Saran

  1. Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara perlu menyusun program untuk merekrut pengawas sekolah khususnya di Kota Tebing Tinggi sesuai dengan pasal 31 Permenpan RB No. 21 Tahun 2010 dan harus memperhatikan rasio antara pengawas sekolah dan guru khususnya guru mata pelajaran yang serumpun.
  2. Dinas Pendidikan Sumatera Utara perlu menyusun program pendidikan dan pelatihan secara berkesinambungan untuk meningkatkan kompetensi pengawas SMK khususnya pelatihan model-model supervisi.
  3. Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara perlu menyusun program untuk meningkatkan anggaran operasional pengawas SMK sehingga dapat bekerja lebih optimal dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, S.Z. 2006. Kebijakan Publik. Suara Bebas, Jakarta.

Almannie, Mohamed. 2015. Leadership Role of School Superintendents in Saudi Arabia. International Journal of Social Science Studies. Hal 169 0 170. Vol.  3,  No.  3;  May  2015 ISSN 2324-8033 E-ISSN 2324-8041 :  Redfame  Publishing.

 

Anderson, James E. 2006. Public Policy Making: An Introduction Fifth Edition, Boston: Houghton Mifflin Company

Agustino, Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung  : Alfabeta

Arikunto, Suharsimi,. Slamet Suyanto,. Setya Raharja,. 2006. Pengembangan Kapasitas Kepengawasan Pendidikan di Wilayah Kota Yogyakarta. Jurnal Penelitian Bappeda Kota Yogyakarta. Vol 1, No. 1, hal.3-11. ISSN 1978 - 0052

Burhanuddin, Y. 1990. Administrasi Pendidikan. Bandung : Pustaka setia

Danim, Sudarman 2004. Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok. Jakarta : Rineka Cipta.

 

Dickta. 2008. Rekruitment Pegawai Negeri Sipil. http://dickta.wordpress.com/. Diakses pada tanggal 5 Februari 2017 pukul 11.50 WIB

Dunn, William. 2003. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta : Gajah Mada University.

 

Gedeian, Arthur G.. 1991. Organization Theory and Design. University of Colorado at Denver.

 

Gerston, Larry N., 2002, Public Policy Making in a Democratic Society: A Guide to Civic Engagement, Armonk : M. E. Sharpe

 

Grindle, Merilee S. 1980. Politics and Policy Implementation in The Third World

              (New Jersey: Princnton University Press

 

Hood, C. Christopher. 1976.  The Limit of Administration. John Willey & Son,.

 

Keban, Yeremias. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik. Yogyakarta : Gava Media

 

Law, sue dan Glover, Derek. 2000. Educational Leadership. Buckingham: Open University Press.

 

Mahmudi. 2005. Manajemen Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta : UPP AMP. YKPN. Mangkunegara

 

Mantja, W 2001. Organisasi dan hubungan kerja pegawai pendidikan. Makalah disampaikan dalam rapat konsultasi pengawasan antara inspektorat jenderal departemen pendidikan nasiona dengan badan pengawasan daerah di solo, tanggal 24 sd 28 september 2011

 

Mardiyanta, Antun. 2013. Restore Public Trust Through Deliberative Public Policy Formulation. International Journal of Administrative Science & Organization, January 2013 Volume 20, Number 1 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi ISSN 0854 - 3844, Accredited by DIKTI Kemendiknas RI No : 64a/DIKTI/Kep/2010

 

Mazmanian, Daniel H., dan Paul A. Sabatier. 1979. Implementation and Public     Policy. New York : HarperCollins.

 

Moleong, J. Lexy.  2010.  Metode Penelitian Kualitatif.  PT Remaja Rosdakarya.

Bandung.

 

Muchsin, dan Fadillah. P. (2002). Hukum dan Kebijakan Publik. Malang: Averroes Press

 

Ndraha, Taliziduhu. (1989). Konsep Administrasi dan Administrasi di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara

 

Nugroho, Riant. 2006. Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang. Jakarta : Elex Media Komputindo

 

_______, Riant. 2011. Public Policy : Dinamika Kehidupan, analisis kebijakan, manajemen kebijakan. Jakarta  : Elex Media Komputindo

 

Ofsted. 2005. Ofsted Inspection of Teacher education. London : Office for Standards in Education

 

Pandong, A. 2003. Jabatan Fungsional Pengawas. Badan Diklat Depdagri & Diklat Depdiknas. Jakarta

 

Parsons, Wayne. 2008. Public Policy : Pengantar Teori & Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group

 

Patton, Michael Quinn. 1987. Qualitative Education Methods. Baverly Hills : Sage Publication

 

Paulsen, Jan Merok. 2014. Superintendent Leadership under Shifting Governance Regimes. International Journal of Educational Management. ISSN: 0951-354X. Volume 28, Issue 7, pp.812-822.

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 21 Tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional Pengawas dan Angka Kreditnya

 

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

 

Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru

 

Sahartian, P.A. 2000. Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta : Rineka Cipta

 

Steers, M. Richard. 1985. Efektifitas Organisasi. Jakarta: Erlangga.

Subarsono. 2010. Analisis Kebijakan Publik : Konsep, Teori dan Praktek. Yogyakarta : Pustaka Belajar

Suharto, Edi. 2008. Analisis Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta

Surya, Priadi. 2011. Profesionalisasi Pengawas Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Jurnal Aspirasi Vol. 2. No. 2, Desember 2011. Halaman 267-288. Pusat Pengkajian, Pengolahan dan Informasi Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. ISSN 2086-6305.

Syafaruddin. 2008. Sistem Pengambilan Keputusan Pendidikan. Jakarta : Grasindo

 

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

 

Van Meter, Donald dan Van Horn,. 1975, The Policy Implemention Process  A Conceptual Framework,(Journal Administration and Society).

 

Wahab, Abdul Solichin. 2005. Analisis Kebijaksanaan: dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta : Bumi Aksara

 

Wastandar. 2015. Pembinaan Karir Pengawas. Jakarta : Direktorat Pembinaan PTK Pendidikan Menengah

 

Winarno, Budi. 2012. Kebijakan Publik (Teori, Proses dan Studi Kasus). Jakarta

              : CAPS.

 

 

 

 

 


5 comments:

  1. Abstrak yang menyajikan informasi keseluruhan dengan ringkas dan didukung dengan data-data secara lengkap. Singkat kata, Abstrak informatif merupakan ringkasan mini atas keseluruhan informasi dalam sebuah karya ilmiah. Abstrak Indikatif. Abstrak yang menyajikan inti dari pembahasan masalah dalam tulisan.

    ReplyDelete
  2. Abstrak yang menyajikan informasi keseluruhan dengan ringkas dan di data dengan lengkap juga.

    ReplyDelete
  3. Abstrak yang menyajikan informasi keseluruhan dengan ringkas dan di data dengan lengkap juga.

    ReplyDelete
  4. Dengan adanya analisa ini serta abstrak dengan sajian informasi yg lengkap, dapat menjadi dorongan untuk membangun sekolah-sekolah di Indonesia untuk mendapatkan pendidikan dan fasilitas yang maju dan sama rata di setiap daerah. Mantap pak 👍🏼

    ReplyDelete
  5. Nama: Fitra Maisya Putri
    XI BDP 1

    Abstrak yang menyajikan informasi lengkap dengan ringkas dan didukung dengan data-data secara lengkap. Singkat kata, Abstrak merupakan ringkasan mini atas keseluruhan informasi dalam sebuah karya ilmiah. Abstrak Indikatif. Abstrak yang menyajikan inti dari pembahasan masalah dalam tulisan.

    Dengan adanya analisis ini serta abstrak dengan sajian informasi yg dapat menjadi dorongan untuk membangun sekolah-sekolah di Indonesia untuk pendidikan dan fasilitas yang maju dan sama rata di setiap daerah.

    ReplyDelete

give comment ya

Powered by Blogger.